Selasa, 21 Desember 2010

Malaikat terbaik dari Tuhan

lelah derai air ku lihat aliri halus pipi mu ibu,

keringat tak henti pula berpacu dengan darah yang juga bersaksi atas perih itu.

berapa lama kau bawa aku dalam rahim suci itu ibu?

berapa kali tangan hangat itu mengelusku yang buta dan kaku?

berapa perih rasa sakit itu ibu, ketika kau bawa aku ke dunia ini?

kau mengajariku sebuah kesederhanaan hidup, berjalan tak malu jika tertatih, berlari tak kenal henti sampai jatuh dan bangkit kembali.

ibu, maafkan anakmu

kau harus bangun di ujung malam ibu, dengan mata sembab dan lelah menggendongku seharian

hanya karena egoisnya aku yang haus akan susu

kau hanya tertawa dan menitihkan airmata yang sama ibu, saat memegangiku yang mengamuk meminta mainan dan kau hanya bilang aku harus "sabar".

ibu, maafkan anakmu

masih teringat saat airmata yang paling deras ku lihat dari mata sayumu ibu.

entah berapa kali hatimu terluka oleh kata-kata bantahan dan bentakan ku.

masih juga ku ingat raut wajah paling sendu darimu ibu, saat kaki ini ku langkahkan tuk menjauh deri rumah dan menantang hidup sendiri tanpamu ibu. jauh darimu ibu.

entah ibu, durhaka kah anakmu ini yang air susumu ku gantikan dengan air tuba.

ku ingin tenggelam dalam dekap hangat yang sama,

bermain dengan kata indah yang layak terucap saat ku berkeluh padamu.

ibu, ku akan bayar tiap tetes airmata itu

berjuta perih saat kau pertaruhkan hidupmu untuk hidupku

rasa kehilangan yang ku tanam ketika itu

dengan doa terindah untuk mu ibu, untuk malaikat terbaik yang Tuhan beri padaku

-selamat hari ibu-

terimakasih ibuku, terimakasih

Sabtu, 18 Desember 2010

anak putih tak berbaju

bulan apa entah ku lupa..
yang pasti aku ingat itu hari jumat, langit sedikit mendung dengan udara yang selalu dingin di atmosfir cibubur,
waktu itu aku berkendara ria dengan motor teman, niat ku mngunjungi rumah teman yang sedang mengadakan hajat, memasuki pertigaan melewati perumahan cibubur permai, pertigaan itu agak terpisah dengan taman kecil yang lebih banyak rumput tinggi ketimbang tanaman hiasnya.

aku kemudian belok memasuki komplek itu, selintas mataku menangkap anak lelaki badannya putih bersih tak berbaju, jongkok menundukan kepalanya di kedua lutut dan cuma bercelana pendek, bersandar di pagar taman itu. mungkin usianya sekitar 10 tahun.
yah namanya juga hanya melintas, aku tak terlalu memperhatikan anak itu.

pulang dari tujuan pertamaku berkendara ria dengan motor, pastinya aku lewati taman kecil di pertigaan itu lagi. dan rasa penasaran mengerubungi kepala ku, kenapa? karena anak lelaki tak berbaju itu masih jongkok tak bergeser sedikitpun, padahal waktu itu sudah malam, mungkin hampir 3 selisih dari datang dan kepulangan.

tapi motor masih melaju... 'ah sepertinya bukan saatnya, sudah malam, dia biasa seperti itu' pikirku saat mulai menjauhinya

besoknya...

rasa penasaran dan kasihan ku belum hilang di sabtunya....

kugeber motor yang sama di pagi yang cukup teduh dengan awan.
ku lihat dari kejauhan anak itu MASIH ada!! persis seperti pertama ku lihat kemarin. 'itu anak idup apa tewas? dari kemaren gak gerak... pasti dia gak makan apa-apa dari kemarin'

sebelum sampe pertigaan itu, aku sengaja puter balik...
niatku mau beli makanan buat anak lelaki itu

setelah keluar toko swalayan, langsung ku kebut motor yang masih panas mesinnya.
makanan kecil dan snack sejenis sudah ku ikat di tengah motor, namun apa yang ku dapati setelah sampai di taman kecil dekat pertigaan itu?
nihil!! nggak ada seorang pun yang aku temuin... anak lelaki itu nggak ada.

sempat ku mondar mandir dan menyisir daerah terdekat, tapi memang nggak ada anak lelaki putih bersih yang tadinya jongkok di taman kecil dekat pertigaan itu..

sampai sekarang aku masih penasaran setiap kali melewati taman kecil yang membelah pertigaan itu...

Jumat, 16 April 2010

Kantong terbuka

Suara menderu tanya ibu muda kering berdaki dan miskin alas kaki.
Di pangkunya pangeran kecil miskin pula alas kaki, oalah.. kumuh sekali.
Di sekitar kakinya yang menginjak aspal panas, berjatuhan bulir keringat yang cepat menguap, sang pangeran lemas memegangi sobekan-sobekan kulit kering yang ia kelupas sendiri dari bibirnya…

Tepat di belakang tiang-tiang menjulang tegak berkarat, tangan berkerut menadahkan hujan mata uang, hampir sedari angin berhembus di fajar menyingsing, tak satupun tangan merogoh kantongnya sekedar menyisih sepeser.
Sesekali bapak tua berjanggut penuh lumpur ketidak adilan itu menghitung berapa butir beras yang ia dapat dari karung goni yang di gembloknya.

Berlalu lalang mesin beroda yang melaju angkuh tak pernah tengok kanan-kiri, berjas berjuta-juta mereka, gaun mengkilap silaukan hati pencari suapan-suapan nasi.

Tidakkah mereka tahu punya siapa yang mereka pakai?

Wajah langit kian meninggalkan salam pada surya, halah.. begini lagi rupanya sang hari, ya tuhan, sambungkan nafasku untuk esok hari lagi,
dan lagi…

berlangkah mungil berbaju agak kebesaran dengan sebungkus gorengan ditangan,
santai ia lewati para penduduk tersisih di belakang trotoar tadi.

Tangan mungilnya mengambil tahu isi mengepul darinya kehangatan,,,
Berjongkok sedikit dihadapan, ibu muda dengan pangeran yang matanya hampir tertutup karena lapar,
Tatapan putri manis itu tertuju nanar ke tangannya, agak malu rupanya,
"ini untuk kamu!"
Sebungkus gorengan hangat sudah ditangan ibu muda, tak lupa ia berbagi dengan bapak tua yang lemas bersandar ke tiang.

Putri manis itu berjalan lenggang santai sambil mengunyah tahu isi yang mengepul darinya kehangatan,,