Minggu, 27 April 2008

Sekarang saat dahulu


Aku datang dengan pikiran sehatku

Memusatkan perhatian pada masa laluku

Lalu mendobrak anggapan tentang dahulu yang biru

Memang… aku ingin kembali

Aku, yang dulu kumuh akan dosa,

Dan

Mencoba pasrah akan waktu yang membeku

Karna aku, saat itu masih lusuh, bagai sampah di hamparan bunga, cukup hina bagi sampah sepertiku

Yang mengais perhatian, di atas semua gunjingan

Aku, yang sekarang, lebih kumuh, tapi mungkin tanpa dosa

Tetap pasrah pada waktu yang masih membeku

Karna aku saat ini mulai merekah,

Bagai bunga di hamparan sampah, cukup berguna bagi segalanya.

Tapi aku

Tetap mengais perhatian, di atas semua pujian

Akar jiwa

Luapan dosa, suaranya membahana keseluruh nyawa

Sampai akarnya tak lagi menggantung dalam raga

Aku tak segan tuk mengerti,

Karna lukisan dari dinding sukma telah tertunda,

Dan kini, bahasanya merubah segala yang kasat mata.

Tanpa tahu luapan dosa mereka tak terbendung dengan segera,

Sampai nyawa pun dapat mengakhiri harga sebuah mimpi

Maka, balutan kasih sebuah nyawa

Takkan mengindahkan kata dari suatu rasa

Yang memaksa dunia memuntahkan manusia yang berdosa

Hingga mereka merasa itu akhir segala yang bernyawa

Karna mereka cukup segan tuk mengerti apa itu dunia

Terlambat menanti malam

Seorang pria, entah kenapa selalu berlari.

Berlari tanpa henti

Tepat saat sore mulai hilang.

Tatkala ia berhenti, nafasnya terengah-engah

Ternyata,

menangis pria itu dengan buliran pedih teramat sakit

alur air matanya, mengaliri keram kaki lelah berlari

kasihan…

berhari-hari datang di jalan hampa ini seorang diri.

Hanya berlari, lalu menangis…… entah

Kutanyakan hangat,

Ia menjawab parau:

“saat malam aku kehilangan,”

“saat malam aku kesepian,”

“saat malam aku sendirian”

“karna itu tak bosan, malam ku kejar walau kadang kaki ini menolak tuk mengiyakan kata hati yang terbiasa sendirian”

Jumat, 11 April 2008

siapa peduli?

hari-hari dilalui dengan cekalan dan cacian rakyat yang teraniaya oleh mimpi-mimpi sang penguasa, yang tentu saja terbiasa bermimpi indah tanpa harus bangun dari tidurnya,

tiap hari hanya teriakan-teriakan kosong dari pendemo amatiran di depan gedung-gedung bertingkat, tempat tinggal manusia-manusia berlidah cekatan namun berhati setan

pembunuh berdarah panas bertaburan di sana, sambil menghisap rokok dan tanda tangan,
itulah senjata mereka,

kenapa harus indonesia?
kenapa harus indonesia?
hari ini seorang ibu menangis... sangat haru, tetesan air matanya menjadi bekal siksa untuk sang penguasa tamak berperut kendi.

tayangan televisi tak mendidik
antrian BBM makin heboh
otak-otak kriminal semakin laris di ibukota
fisik-fisik kerempeng sudah biasa dijumpai di perempatan lampu merah
semakin banyak pria menenteng gitar dan ibu-ibu tua membawa mangkuk meminta recehan dari saku-saku kita
semakin sedikit tangan-tangan peduli akan global warming
semakin banyak orang peduli tentang privasi selebritis
pejabat-pejabat semakin mirip ikan buntal dan rakyat semakin mirip ikan teri ceking
orang-orang makin sering mencela koruptor
pejabat makin sering di sorot kamera acara gosip kesukaan ibu-ibu
dan pujangga kurang kerjaan makin sering menulis puisi bodoh tentang politik

apa ada yang peduli?

aku?
kamu?
mereka?

ternyata kita berbeda